![]() |
London, United Kingdom. |
Sebagai seorang anak magang Harian Kompas, merupakan sebuah tantangan yang menarik bagi saya selama bertugas di Java Jazz. Bagaimana tidak? Menganalisis booth-booth sembari mencoba aktivitas yang ditawarkan di sana, membuat social media content sambil menonton konser gratis tentu sangat wow (meski sebenarnya saya anaknya ga into jazz-jazz amat). Untuk pertama kalinya saya bisa ikut acara-acara musik berbayar yang tentu belum pernah saya datangi sebelumnya. Maklum, harga tiketnya lumayan buat kantong saya *hee*.
Minggu, 05 Maret 2017. Masih teringat persis betapa terik matahari di akhir pekan. Hari itu merupakan hari terakhir saya bertugas, tanpa
ditemani teman magang saya yang harus pulang ke Cibubur. Saya datang lebih
awal dan melihat booth Kompas.id masih sepi. Saya pun memutuskan untuk
mengelilingi booth-booth yang belum sempat saya kunjungi dua hari sebelumnya.
“Ayo, siapapun boleh ikut lomba ini. Tidak ada batasan.
Kapan lagi bisa memenangkan hadiah ke Seoul, Melbourne, dan London hanya dengan
mengumpulkan sampah terberat!”, terdengar begitu jelas dan antusias suara MC
dari booth Garuda Indonesia.
London? UK? Hal yang pertama kali terlintas dalam benak saya
adalah empat sosok dari Liverpool yang berjalan menyeberangi Abbey Road. Lalu,
menyusul muncul Harry Potter, Sherlock Holmes, Royal Kingdom, dan berbagai
imajinasi terkait UK lainnya. Sejak kecil, Inggris memang menjadi salah satu
negara impian saya.
![]() |
Salah satu coretan iseng yang saya temukan di buku gereja, ditulis oleh saya ketika SMA. See? UK ada di posisi pertama. |
A dream is a wish your heart makes, kata Cinderella. Entah
ada apa yang mendorong saya hari itu, saya mendekat ke booth Garuda dan
dibagikan selembar kertas berisi syarat dan ketentuan lomba Trash for Miles.
Saya merupakan tipe orang yang teliti. Berulang kali saya membaca syarat dan
ketentuan sebelum akhirnya saya merasa layak untuk mengikuti lomba tersebut.
Segera saya mendaftar dan diberikan plastic bag beserta waktu 2 jam untuk
mengumpulkan sampah seberat mungkin.
Now what? Setelah saya berdiri memegangi plastic bag
tersebut, saya terdiam. Mengumpulkan sampah terberat? Tentu saja mudah kalau
lokasi pengumpulannya di Bantar Gebang yang memang banyak sampah. Tapi... ini
Java Jazz, tempat yang didatangi kaum menengah ke atas yang kebetulan kesadaran
untuk membuang sampah pada tempatnya sudah ada. Saya melihat sekeliling dan
tidak menemukan satu sampah pun di jalanan. Beberapa peserta lomba mengorek isi
tong sampah untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka. Pikiran-pikiran
seperti “Haruskah saya mengais-ngais
tong sampah seperti mereka?” dan “Agak malu juga ya dilihatin banyak orang..
apa seadanya saja saya asal-asalan mengumpulkan sampah?” mulai muncul. Namun,
mengingat hadiah utama ke London, semangat saya kembali terbakar. Saya pikir,
saya sudah terlanjur nyemplung ke dalam lomba ini sehingga saya harus melakukan
yang terbaik.
Lantas apa yang saya harus lakukan? Kriteria pemenang
ditentukan dari sampah terberat yang dikumpulkan. Sampah itu tak boleh berisi
air atau zat lain di luar berat kemasannya sendiri. Saya pun memutar otak,
mencari ide bagaimana bisa menang. Aha! Saya mendekati kios bir bintang Radler
Lemon, bir yang sejauh ini enak karena manis (lol). Tanpa ragu, saya meminta
izin untuk membersihkan belakang kios tersebut dari sampah-sampah botol beling
yang berserakan, dan tanpa ragu juga Mas-Mas penjaganya dengan senang hati
memberikan sampah-sampah beling tersebut pada saya. Dalam sekejap, kantong
plastik saya langsung menjadi berat.
Ada 5 kios bir bintang di Java Jazz 2017, yang tentu
tersebar dari ujung ke ujung arena JiExpo Kemayoran. “Sebelum orang lain
mengikuti ide saya, saya harus meminta semua sampah beling ini”, pikir saya.
Dengan berpeluh, saya kelilingi arena Java Jazz untuk meminta botol-botol
sampah beling dari setiap kios bir bintang. Ketika sudah selesai 5 kios saya
kelilingi, saya kembali lagi ke kios pertama untuk mengambil sampah botol
beling yang baru.
![]() |
Gadis pemulung di Java Jazz 2017 |
Dilihat banyak pasang mata? Tentu. Apalagi hari itu saya mengenakan baju pink, tas pink seperti anak sekolah. Dengan postur saya yang kecil, kantong sampah itu terlihat begitu besar dan berat. Saya hanya tersenyum kecil menanggapi beberapa celetukan dari orang-orang sekitar. Anggap saja itu sebagai suatu bentuk keramahan orang Indonesia.
Satu jam berlalu. Masih ada sisa satu jam lagi untuk mengumpulkan
sampah. Kantong saya baru terisi ¾-nya. Akan tetapi, saya sudah tidak kuat
lagi. Terlihat ujung kantong sudah mulai jebol. Daripada saya tamak memaksakan
untuk mengikuti orang-orang yang mengumpulkan sampah sampai kantong mereka
penuh, saya memutuskan untuk menyerahkannya saja. Waktu itu, badan saya sudah
menjijikan penuh keringat. Saya sendiri tak habis pikir ada kekuatan apa yang
membantu saya. Padahal, saya tipikal anak yang lemah, yang biasanya tidak
kuat mengangkat beban berat. Tetapi, di hari itu saya mampu melampaui batas.
Saya berulang kali mengelilingi arena JiExpo Kemayoran dengan membawa sampah
seberat hampir 8 kilogram. Setelah panitia menimbang sampah saya, saya langsung
bertugas kembali. Menonton konser penyanyi-penyanyi ciamik sambil membuat
konten. Nothing to lose lah. Yang penting saya sudah berusaha secara maksimal.
![]() |
Candid kegerahan dengan wajah kucel, habis keliling angkat beban 8 kg. |
Saat sedang duduk santai di bean bag (sambil menonton Monita Tahalea di baris terdepan), samar saya mendengar bunyi game Super Mario Bros. Oalah, ternyata ponsel saya berbunyi. Setelah saya angkat dan tidak terdengar jelas orang itu ngomong apa, saya matikan saja. Tetapi, nomor asing yang sama terus menelepon saya. Samar-samar saya mendengar bahwa saya diminta untuk datang ke Booth Garuda Indonesia sekarang juga. Langsung saya kabur dari tempat itu, lari meninggalkan Monita yang masih bernyanyi merdu.
![]() |
HP saya bunyi saat sedang asik menonton Monita Tahalea di baris terdepan |
Pemenang ketiga dibacakan, bukan saya. Pemenang kedua
dibacakan, juga bukan saya. Saya melangkah dengan optimis ketika nama pemenang
utama dengan hadiah tiket PP London dipanggil. Ya, saya, menang tiket PP
London-Jakarta! Woo hoo! Setelah berfoto dan diwawancarai oleh majalah Colours (majalahnya Garuda Indonesia), saya langsung berlari sambil melompat-lompat ke
Booth Kompas untuk memberitahu Mbak Any, Mbak Nyoe, Mas Thoriq, Mbak Ais,
Evanto, dan teman-teman Kompas lain betapa senangnya saya saat itu. Tak lupa
saya men-drop pesan singkat ke mama saya terkait hal ini. Semua orang yang tahu
turut senang dan menyarankan agar saya segera membuat VISA supaya bisa
menginjakkan kaki di Heathrow Airport. Hari itu saya makan malam sambil
menonton Mocca. Saya masih terpana. Saya, yang belum pernah naik pesawat ini
akhirnya pertama kali akan naik pesawat. Dan London! Destinasi impian banyak
orang dari berbagai penjuru dunia.
Keesokan harinya, saya bergegas mengurus NPWP sebagai salah
satu syarat pengambilan hadiah. Saya mengantri dari pagi sekali dan baru
mendapat giliran di sore hari. Meski saya belum bekerja dan berpenghasilan,
untuk mendapatkan kartu NPWP saya harus dianggap bekerja dan membayar pajak
setiap bulannya. Ya sudahlah, saya pikir demi hadiah. Saya pun membayar nominal
yang ditentukan ke bank di sebelah kantor pajak. Disitu, saya bertemu dengan
seorang pemuda yang ramah. Koko tersebut menanyakan saya kerja dimana, dan saya
menjelaskan kalau saya membuat NPWP ini hanya untuk mengambil hadiah.
Percakapan pun berjalan hingga dia mengatakan bahwa sepengetahuannya, syarat
untuk lolos VISA negara Inggris paling tidak uang di tabungan harus ada minimal
50 juta rupiah. Waduh. Saya mana punya uang sebesar itu. Orang tua saya juga
tidak mempunyai tabungan sejumlah itu. Saya berasal dari keluarga sederhana.
Jangankan 50 juta, untuk kuliah saja saya berjuang mendapatkan beasiswa dan
sempat bekerja sambilan. Begitu pula untuk mendapatkan barang-barang yang saya
mau seperti jam tangan, make up yang seringkali saya dapatkan dengan mengikuti
kuis. Akan tetapi, menurut koko itu Garuda Indonesia merupakan maskapai yang
baik dan selow. Dia menyarankan saya untuk mencoba bernegosiasi dengan pihak
Garuda, apakah memungkinkan untuk diberikan solusi lain.
Dengan gontai, saya kembali melangkah ke kantor pajak.
Rasanya lagu Oasis dengan part “Damn my situation, and the games I have to
play” mampu menggambarkan situasi saya saat itu. After that, I went home like a fool. Eh ada tetesan air apa ini, padahal sedang tidak hujan.
Keesokan harinya, saya menulis surat terbuka kepada pihak
sponsorship Garuda Indonesia. Dalam surat tersebut intinya saya menjelaskan
kondisi saya dan bertanya apakah ada solusi yang mungkin? Apakah memang lomba
ini hanya untuk orang tertentu saja meski dikatakan di awal semua orang yang
tervalidasi bisa ikut? Sebagai sebuah perusahaan besar, dalam waktu 1X24 jam
surat elektronik saya dibalas oleh pihak Garuda Indonesia. Pihak Garuda
menawarkan masa perpanjangan tiket hingga September 2017, sebagai satu-satunya
solusi yang mungkin dari mereka.
![]() |
Tiket PP CGK-LHR yang sudah di-issued setelah membayar service fee. |
Saya membagikan cerita saya dengan orang-orang terdekat. Saya
menjelaskan bahwa saya memiliki uang untuk perjalanan dan akomodasi selama
beberapa hari di London, tetapi terkendala soal VISA. Berbeda orang, berbeda
pendapat. Sebagian pihak men-support saya dengan menyatakan kalau saya harus
berjuang semaksimal mungkin, manusia harus punya mimpi yang besar, ini
merupakan kesempatan emas, hidup harus berani ambil risiko, bla bla dan sebagainya.
Ada pro, ada kontra. Tak sedikit juga pihak yang kontra
dengan menyatakan bahwa saya harus sadar diri dengan kondisi saya, mungkin belum
saatnya, kesempatan emas belum tentu datang sekali saja, dan hidup saya masih
panjang. Melalui banyak pertimbangan, saya pun mengikuti kata hati saya dengan
mencoba sampai akhir. Justru, jika saya tak mencoba saya bisa mati penasaran. Yang
penting saya tidak merugikan orang lain dan tidak harus berhutang demi perjalanan
ini. Saya pertaruhkan hampir seluruh uang gaji magang untuk UK VISA yang
statusnya masih gambling.
Pencarian tentang London pun dimulai. Berdasarkan info yang
saya temukan di internet, mendapatkan VISA Inggris memang tidak mudah. Tetapi,
keberuntungan bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Ada beberapa orang yang lolos
dengan saldo di bawah 50 juta. Akan tetapi, ada juga yang saldonya sekitar 50
juta dan masih tidak lolos. Yang penting, kita harus menyiapkan dokumen penguat
lainnya seperti bookingan hotel, asuransi perjalanan, tiket PP yang sudah
di-issued, segala dokumen yang sudah di-translate ke dalam Bahasa Inggris oleh
penerjemah tersumpah yang diakui kedutaan Inggris, dan surat sponsor. Berbeda
dengan VISA negara lain yang untuk membuatnya kita harus datang ke kedutaan,
Kedutaan Inggris di Indonesia tidak lagi melayani pengurusan VISA. Untuk
membuat VISA Inggris, kita bisa menggunakan jasa VFS Global sebagai pihak
ketiga yang akan menyampaikan dokumen kita ke Kedutaan Inggris yang berada di
Manila, Filipina untuk diproses lebih lanjut.
Sempat ingin menggunakan bantuan calo dari agen tur, tetapi
setelah bertanya ke berbagai jasa tur saya mendapatkan info kalau calo hanya
mengurusi dokumen yang siap dibawa ke agen saja. Segala dokumen penguat seperti
asuransi, dll tetap harus kita urus sendiri. Dari informasi tersebut, dengan
mantap saya memutuskan untuk mengurus semuanya sendiri.
![]() |
Segala dokumen yang saya siapkan untuk VISA |
Saya pun segera membuat asuransi perjalanan AXA Mandiri yang
coverage-nya paling tinggi (karena memang kewajibannya seperti itu untuk UK),
mencari penerjemah tersumpah yang tercatat secara resmi oleh pihak kedutaan
Inggris, meng-issued tiket PP (rencananya saya akan pergi pada 17 – 23
September 2017), membuat surat pernyataan dari Universitas, meminta seorang
paman saya yang memiliki uang di rekeningnya (tak begitu banyak, tapi paling
tidak lebih banyak dari orang lain terkait yang saya kenal) untuk menjadi
sponsor (hanya sponsor di surat saja, karena sebenarnya saya tetap akan pergi dengan
uang saya plus mama saya), dan mencari bookingan penginapan yang paling murah
yang bisa saya temukan. Penginapan di UK yang termurah paling tidak membuat kita harus merogoh kocek 500-600 ribu per
malamnya. Akan tetapi, saya berhasil mem-booking tempat di Wisma Siswa Merdeka, penginapan
khusus siswa milik Kedubes RI yang per malamnya hanya dikenai sekitar 230 ribu
rupiah.
Saya juga menyusun itinerary dan berencana untuk pergi ke
tempat-tempat yang gratis saja, seperti taman, museum, jalanan dan toko yang iconic.
Mengenai tempat-tempat yang saya kunjungi, transportasi, cuaca, makanan murah, kartu telepon, dan estimasi biaya saya banyak berkonsultasi dengan Iradin, salah satu teman online
yang saya kenal sejak awal saya masuk kuliah. Dia tinggal di UK dan banyak
membantu saya mendapatkan informasi tentang UK dan visa. Saya juga berharap
bisa bertemu dengannya, sebagaimana saya dikunjungi oleh Daisuke, teman online
saya dari Jepang pada 2014 silam. It's so interesting to meet your online
overseas friend. Biasanya, saya mengenalkan Indonesia kepada teman-teman luar negeri saya melalui food and beverage seperti snack dan minuman lokal.
Selain mama, support secara moral diberikan oleh orang-orang
terdekat saya. Seorang teman bahkan hendak meminjamkan segala keperluan pakaian
di negara empat musim, terlebih karena saya pergi di musim gugur yang suhunya
mencapai 9-13 derajat celcius. Estimasi akomodasi saya selama di London dengan
menghemat akan menghabiskan sekitar 5-7 juta rupiah (di luar visa dan segala
dokumen penguat yang menghabiskan kurang lebih 3 juta rupiah). Demi perjalanan
ini, saya berdoa novena. Saya mengutarakan harapan saya, sekaligus
menyerahkannya ke Yang Maha Kuasa karena saya yakin Ia tahu yang terbaik untuk
saya. Ketika memutuskan untuk membuat visa, saya gambling dan sudah berbesar
hati dengan segala risiko yang mungkin akan saya terima.
Setelah bolak-balik seperti setrikaan mengurus segala
dokumen, saya pergi mengurus visa di VFS Global (next mungkin akan saya ceritakan
proses pengurusan visa-nya) di daerah Kuningan. Prosesnya singkat, hanya 17
menit. Saya datang pagi-pagi sekali berdasarkan informasi yang saya baca di
internet. Visa diproses 15 hari kerja.
Akan tetapi, setelah 15 hari kerja tidak ada informasi yang datang ke e-mail saya. Saya pun terus menunggu dan menunggu, sembari sibuk persiapan sidang skripsi. Sampai saya selesai sidang dan revisi pun tidak ada e-mail masuk yang menyatakan kalau visa saya telah tiba di Indonesia.
Akan tetapi, setelah 15 hari kerja tidak ada informasi yang datang ke e-mail saya. Saya pun terus menunggu dan menunggu, sembari sibuk persiapan sidang skripsi. Sampai saya selesai sidang dan revisi pun tidak ada e-mail masuk yang menyatakan kalau visa saya telah tiba di Indonesia.
Kuningan merupakan daerah yang lumayan. Jangan sampai saya
sudah jauh-jauh kesana, visa saya belum jadi. Karena kabar tak kunjung datang, saya
berusaha mencari nomor telepon ataupun e-mail VFS Global tetapi hanya menemukan bagian yang mengurusi Belanda, dan mereka tidak tahu menahu soal bagian yang mengurusi Inggris.
Akhirnya, saya putuskan untuk datang langsung. Tentu saja pagi-pagi lagi.
Sesampainya di sana, petugas security mengatakan kalau untuk pengambilan, saya
baru bisa masuk ke dalam setelah jam 3 sore. Sambil tersenyum kecut, saya
akhirnya memanggil abang gojek untuk mengantarkan saya ke Erasmus Huis (pusat kebudayaan
Belanda di daerah Kuningan). Untuk membunuh waktu saya melihat beberapa
pameran, berfoto di area Erasmus Huis, dan membaca buku di perpustakaannya yang
kece abis meski mayoritas bukunya berbahasa Belanda.
![]() |
Membunuh waktu di Pusat Kebudayaan Belanda |
Sekitar jam 2 sore, saya balik lagi ke VFS Global. Untuk masuk ke ruangan, pintunya benar-benar baru
dibukakan jam 3 sore setelah dilakukan pemeriksaan barang dan body check oleh
security. Setelah mengambil nomor antrian, saya pun duduk dan mengobrol dengan
dua orang ibu yang saya temui di sana. Ibu yang pertama mengatakan kalau dia
ingin pergi ke UK dan sudah menggunakan jasa visa priority yang harganya 6 juta
rupiah, sudah beli tiket PP, tapi visa-nya belum keluar juga yang langsung
disambut oleh ibu satunya kalau di VFS Global ini, kita yang bayar, tapi kita
juga yang harus mengejar-ngejar karena kadang jika visa kita telah selesai
memang tidak diinfokan di e-mail, harus kita yang datang langsung. Sungguh
profesional sekali, VFS Global.
Setelah nomor antrian ibu tadi dipanggil, dia bergegas
mengambil dokumen. Beliau optimis visa-nya keluar karena dia telah meng-issued
tiket PP dan sudah sering bepergian ke luar negeri seperti keliling Asia dan ke
negara-negara Eropa lainnya. Betapa kagetnya saya ketika mata ibu tersebut memerah
dan berkaca-kaca. visa-nya ditolak! Harapan saya yang tadinya 50:50 langsung
pupus. Bayangkan saja, orang yang sudah issued tiket PP, pakai jasa prioritas,
sudah sering travelling saja ditolak. Saya langsung merasa seperti remahan
biskuit. Ketika nomor antrian saya dipanggil, saya sudah yakin bahwa bukan
stiker visa yang tertempel di paspor saya, melainkan surat penolakan. Dan
benar. Saya terdiam tak bergeming, berulang kali membaca surat penolakan
tersebut sambil mencerna maksudnya. Ternyata, bukan soal keuangan yang saya
khawatirkan yang membuat visa saya ditolak. Ada dua alasan penolakan yang
menurut saya agak “hmmm...”:
1.
Saya menyatakan bahwa paman sayalah yang akan
mensponsori sejumlah uang untuk perjalanan saya, tetapi saya tidak dapat
membuktikan hubungan saya dan paman saya karena dokumen yang saya lampirkan hanya
berupa surat sponsor, account bank, rekening koran saya dan paman saya.
(Jelas-jelas saya melampirkan KTP dan KK kami yang satu tempat tinggal.
Kalau menurut teman bule saya, saya kebetulan saja sial mendapatkan petugas yang mungkin tidak teliti memeriksa keseluruhan dokumen saya).
2.
Status saya sebagai mahasiswa tahun terakhir
membuat kedutaan Inggris khawatir saya tidak akan kembali lagi ke Indonesia
setelah berakhirnya perjalanan saya. (Padahal saya kan hanya mau jalan-jalan,
udah terbukti ada tiket PP issued, asuransi, bookingan penginapan. Lagi-lagi
menurut teman saya, bisa jadi karena Indonesia negara berkembang jadi dicurigai
dan dipandang sebelah mata. Some have prejudices. Padahal, siapa juga yang mau jadi imigran ilegal di
sana. Sorry-sorry aja nih..)
Seperti yang sudah saya katakan di awal, saya sudah siap dan
berbesar hati karena kemungkinan ditolak pasti ada. Since the very start, I don’t
expect too much. Because, I know that it can hurt you so much. Memenangkan round trip tiket Jakarta-London merupakan hal yang unexpected. Tiba-tiba hal itu saya genggam, dan tiba-tiba juga hal itu lepas dari tangan saya. Life is so unpredictable.
Sebagai manusia rasa kecewa itu pasti ada. Harapan
juga tentu saja ada.
Saya tidak menangis karena sore itu saya berjanji untuk bertemu mama saya di stasiun. Saya tidak ingin terlihat sedih karena pasti dia akan ikut sedih. Saya tidak mau beliau menyalahkan kondisi keluarga saya.
Saya tidak menangis karena sore itu saya berjanji untuk bertemu mama saya di stasiun. Saya tidak ingin terlihat sedih karena pasti dia akan ikut sedih. Saya tidak mau beliau menyalahkan kondisi keluarga saya.
Time heals. Semua patah hati pastinya akan terobati oleh
waktu. Ob-la-di, ob-la-da, life goes on, bra. Saya tahu saya harus move on.
Sempat saya terpikir untuk menulis surat kekecewaan akan
hadiah yang pada akhirnya tidak bisa saya nikmati, meski saya telah berjuang
amat sangat gigih. Saya sangat berterima kasih kepada Garuda Indonesia atas
hadiah yang saya terima, serta perpanjangan waktu keberangkatan sebagai
satu-satunya solusi yang mungkin dari mereka. Saya juga paham betul bahwa
kewenangan memberikan visa ada di negara yang bersangkutan. Akan tetapi,
seorang Ibu yang sudah pernah bepergian ke Eropa saja ditolak. Hal ini
menyadarkan saya bahwa untuk masuk ke Inggris cukup sulit dan keberuntungan
menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan.
Apakah pihak Garuda Indonesia mempertimbangkan hal ini? Jika boleh saya memberikan saran, alangkah lebih baik ke depannya Garuda Indonesia memperbaiki ketentuan lomba (diberikan syarat yang lebih spesifik misalnya hanya orang dengan penghasilan atau profesi tertentu saja yang boleh ikut, tidak seperti perkataan MC dan syarat tertulis di kertas bahwa siapapun yang tervalidasi bisa ikut, salah satunya saya yang memenuhi syarat). Atau.. misalnya memberikan hadiah ke tempat yang akses masuknya mudah saja, menjamin si pemenang paling tidak untuk bisa masuk ke negara tersebut supaya ke depannya hal seperti ini tidak terjadi lagi, dan tidak ada pemenang hadiah yang diterbangkan sesaat seperti saya.
Jujur saja, bukan kehilangan uang 3 juta rupiah yang menyakitkan. Lebih dari itu, bagaimana effort saya mendapatkan hadiah, bagaimana perjuangan saya menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk pergi sana-sini mengurus soal London di tengah sibuknya magang dan skripsi. Jika ada hal positif yang dapat diambil, tentunya hal itu ialah pengalaman dan pembelajaran. Inilah pencapaian terbesar saya sejauh ini. At least now I know how to make an UK Visa.
Apakah pihak Garuda Indonesia mempertimbangkan hal ini? Jika boleh saya memberikan saran, alangkah lebih baik ke depannya Garuda Indonesia memperbaiki ketentuan lomba (diberikan syarat yang lebih spesifik misalnya hanya orang dengan penghasilan atau profesi tertentu saja yang boleh ikut, tidak seperti perkataan MC dan syarat tertulis di kertas bahwa siapapun yang tervalidasi bisa ikut, salah satunya saya yang memenuhi syarat). Atau.. misalnya memberikan hadiah ke tempat yang akses masuknya mudah saja, menjamin si pemenang paling tidak untuk bisa masuk ke negara tersebut supaya ke depannya hal seperti ini tidak terjadi lagi, dan tidak ada pemenang hadiah yang diterbangkan sesaat seperti saya.
Jujur saja, bukan kehilangan uang 3 juta rupiah yang menyakitkan. Lebih dari itu, bagaimana effort saya mendapatkan hadiah, bagaimana perjuangan saya menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk pergi sana-sini mengurus soal London di tengah sibuknya magang dan skripsi. Jika ada hal positif yang dapat diambil, tentunya hal itu ialah pengalaman dan pembelajaran. Inilah pencapaian terbesar saya sejauh ini. At least now I know how to make an UK Visa.
Waktu pun berlalu. Begitu pula saya yang coba move on dari kepahitan ini *emot hati retak*. 17 September 2017. Ada e-mail pemberitahuan otomatis dari Garuda
Indonesia yang menyatakan bahwa saya tidak melakukan check-in. Ya, bagaimana
mau check in orang visa saja tidak keluar. Seorang teman bercanda dengan
berkata saya tetap bisa kok ke London, tetapi stay di bandara saja selama 7
hari tanpa lolos imigrasi. That’s a fat lot of use. Sebuah saran yang sangat
unfaedah.
Malam itu, hari di mana saya seharusnya berangkat saya
habiskan dengan mendengarkan musik sambil membaca di kamar. Tiba-tiba playlist
lagu di ponsel saya secara shuffle memutarkan satu lagu dari Oasis, band asal
Manchester, Inggris berjudul Stand By Me. Secara otomatis, air mata saya
mengalir. Air mata yang tak saya keluarkan akhirnya menetes juga. Saya merasa Tuhan berbicara dalam lagu itu. Seolah lirik dalam
lagu tersebut diucapkan Tuhan untuk saya. Yaa, God only knows the way it’s
gonna be. Selama saya bersedia untuk tetap ada di sisi Tuhan, mengikutinya. Terkadang tak semua doa kita mendapat jawaban “ya” dari Tuhan.
Mungkin dari pengalaman ini, ada rencana lain yang disiapkan Tuhan bagi saya. Kita tidak akan tahu apa yang ada di balik pintu masa depan kita. Ini hanya salah satu pengalaman yang memperkuat sisi spiritual saya, Tuhan ingin
membentuk saya menjadi orang yang lebih baik lagi dari sekarang.
Demotivasi? Tentu saja tidak. I personally believe that my
dreams don’t turn to dust. Mungkin ini saatnya menyimpan sejenak mimpi saya
dalam laci untuk ditulis ulang, yang mungkin akan menjadi lebih indah lagi.
Pengalaman ini justru memperkuat keinginan saya. Semakin besar harapan saya,
alamlah yang akan menarik saya ke sana.
Mungkin saat ini saya gagal menginjakkan kaki di Abbey Road,
keliling dengan London tube, melihat mumi, berfoto di dekat Big Ben, dan bermain dengan
dedaunan musim gugur di Hyde Park dan Kensington Gardens. Tapi dengan kehendak Tuhan, sewindu,
sedasawarsa, atau entah kapan saya percaya saya akan menginjakkan kaki di tanah kelahiran
Shakespeare.
Dari tulisan panjang ini, saya hanya ingin berbagi
pengalaman. Saya rasa pengalaman ini layak untuk dibagikan. It's just a life experience. I'm sure that I live and learn through dissapointments. Semoga pengalaman ini tidak membuat teman-teman takut untuk bermimpi.
All things must pass. I should be grateful for what I have. Saya bersyukur masih mempunyai banyak orang yang menyayangi dan mendukung saya. Kata-kata mereka bagaikan mantra sihir yang menguatkan saya hingga sejauh ini. Thank you people for every nice words. :)
All things must pass. I should be grateful for what I have. Saya bersyukur masih mempunyai banyak orang yang menyayangi dan mendukung saya. Kata-kata mereka bagaikan mantra sihir yang menguatkan saya hingga sejauh ini. Thank you people for every nice words. :)
“Jai Guru Deva Om”. Still I thank God for everything in my
life, the good and the bad. It’s about accepting the world and the universe as it
is, bagaimana saya merasa bersyukur dalam setiap peristiwa. Karena bukan
Kehendakku lah yang terjadi, melainkan Kehendak-Mu.
Someday. Definitely Maybe, London.