Sabtu, 23 September 2017

London yang Tertunda

London, United Kingdom.

Sebagai seorang anak magang Harian Kompas, merupakan sebuah tantangan yang menarik bagi saya selama bertugas di Java Jazz. Bagaimana tidak? Menganalisis booth-booth sembari mencoba aktivitas yang ditawarkan di sana, membuat social media content sambil menonton konser gratis tentu sangat wow (meski sebenarnya saya anaknya ga into jazz-jazz amat). Untuk pertama kalinya saya bisa ikut acara-acara musik berbayar yang tentu belum pernah saya datangi sebelumnya. Maklum, harga tiketnya lumayan buat kantong saya *hee*.

Minggu, 05 Maret 2017. Masih teringat persis betapa terik matahari di akhir pekan. Hari itu merupakan hari terakhir saya bertugas, tanpa ditemani teman magang saya yang harus pulang ke Cibubur. Saya datang lebih awal dan melihat booth Kompas.id masih sepi. Saya pun memutuskan untuk mengelilingi booth-booth yang belum sempat saya kunjungi dua hari sebelumnya.

“Ayo, siapapun boleh ikut lomba ini. Tidak ada batasan. Kapan lagi bisa memenangkan hadiah ke Seoul, Melbourne, dan London hanya dengan mengumpulkan sampah terberat!”, terdengar begitu jelas dan antusias suara MC dari booth Garuda Indonesia.

London? UK? Hal yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah empat sosok dari Liverpool yang berjalan menyeberangi Abbey Road. Lalu, menyusul muncul Harry Potter, Sherlock Holmes, Royal Kingdom, dan berbagai imajinasi terkait UK lainnya. Sejak kecil, Inggris memang menjadi salah satu negara impian saya.

Salah satu coretan iseng yang saya temukan di buku gereja, ditulis oleh saya ketika SMA. See? UK ada di posisi pertama.

A dream is a wish your heart makes, kata Cinderella. Entah ada apa yang mendorong saya hari itu, saya mendekat ke booth Garuda dan dibagikan selembar kertas berisi syarat dan ketentuan lomba Trash for Miles. Saya merupakan tipe orang yang teliti. Berulang kali saya membaca syarat dan ketentuan sebelum akhirnya saya merasa layak untuk mengikuti lomba tersebut. Segera saya mendaftar dan diberikan plastic bag beserta waktu 2 jam untuk mengumpulkan sampah seberat mungkin.

Now what? Setelah saya berdiri memegangi plastic bag tersebut, saya terdiam. Mengumpulkan sampah terberat? Tentu saja mudah kalau lokasi pengumpulannya di Bantar Gebang yang memang banyak sampah. Tapi... ini Java Jazz, tempat yang didatangi kaum menengah ke atas yang kebetulan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya sudah ada. Saya melihat sekeliling dan tidak menemukan satu sampah pun di jalanan. Beberapa peserta lomba mengorek isi tong sampah untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka. Pikiran-pikiran seperti  “Haruskah saya mengais-ngais tong sampah seperti mereka?” dan “Agak malu juga ya dilihatin banyak orang.. apa seadanya saja saya asal-asalan mengumpulkan sampah?” mulai muncul. Namun, mengingat hadiah utama ke London, semangat saya kembali terbakar. Saya pikir, saya sudah terlanjur nyemplung ke dalam lomba ini sehingga saya harus melakukan yang terbaik.

Lantas apa yang saya harus lakukan? Kriteria pemenang ditentukan dari sampah terberat yang dikumpulkan. Sampah itu tak boleh berisi air atau zat lain di luar berat kemasannya sendiri. Saya pun memutar otak, mencari ide bagaimana bisa menang. Aha! Saya mendekati kios bir bintang Radler Lemon, bir yang sejauh ini enak karena manis (lol). Tanpa ragu, saya meminta izin untuk membersihkan belakang kios tersebut dari sampah-sampah botol beling yang berserakan, dan tanpa ragu juga Mas-Mas penjaganya dengan senang hati memberikan sampah-sampah beling tersebut pada saya. Dalam sekejap, kantong plastik saya langsung menjadi berat.

Ada 5 kios bir bintang di Java Jazz 2017, yang tentu tersebar dari ujung ke ujung arena JiExpo Kemayoran. “Sebelum orang lain mengikuti ide saya, saya harus meminta semua sampah beling ini”, pikir saya. Dengan berpeluh, saya kelilingi arena Java Jazz untuk meminta botol-botol sampah beling dari setiap kios bir bintang. Ketika sudah selesai 5 kios saya kelilingi, saya kembali lagi ke kios pertama untuk mengambil sampah botol beling yang baru.


Gadis pemulung di Java Jazz 2017

Dilihat banyak pasang mata? Tentu. Apalagi hari itu saya mengenakan baju pink, tas pink seperti anak sekolah. Dengan postur saya yang kecil, kantong sampah itu terlihat begitu besar dan berat. Saya hanya tersenyum kecil menanggapi beberapa celetukan dari orang-orang sekitar. Anggap saja itu sebagai suatu bentuk keramahan orang Indonesia.

Satu jam berlalu. Masih ada sisa satu jam lagi untuk mengumpulkan sampah. Kantong saya baru terisi ¾-nya. Akan tetapi, saya sudah tidak kuat lagi. Terlihat ujung kantong sudah mulai jebol. Daripada saya tamak memaksakan untuk mengikuti orang-orang yang mengumpulkan sampah sampai kantong mereka penuh, saya memutuskan untuk menyerahkannya saja. Waktu itu, badan saya sudah menjijikan penuh keringat. Saya sendiri tak habis pikir ada kekuatan apa yang membantu saya. Padahal, saya tipikal anak yang lemah, yang biasanya tidak kuat mengangkat beban berat. Tetapi, di hari itu saya mampu melampaui batas. Saya berulang kali mengelilingi arena JiExpo Kemayoran dengan membawa sampah seberat hampir 8 kilogram. Setelah panitia menimbang sampah saya, saya langsung bertugas kembali. Menonton konser penyanyi-penyanyi ciamik sambil membuat konten. Nothing to lose lah. Yang penting saya sudah berusaha secara maksimal.

Candid kegerahan dengan wajah kucel, habis keliling angkat beban 8 kg.

Saat sedang duduk santai di bean bag (sambil menonton Monita Tahalea di baris terdepan), samar saya mendengar bunyi game Super Mario Bros. Oalah, ternyata ponsel saya berbunyi. Setelah saya angkat dan tidak terdengar jelas orang itu ngomong apa, saya matikan saja. Tetapi, nomor asing yang sama terus menelepon saya. Samar-samar saya mendengar bahwa saya diminta untuk datang ke Booth Garuda Indonesia sekarang juga. Langsung saya kabur dari tempat itu, lari meninggalkan Monita yang masih bernyanyi merdu.

HP saya bunyi saat sedang asik menonton Monita Tahalea di baris terdepan

Pemenang ketiga dibacakan, bukan saya. Pemenang kedua dibacakan, juga bukan saya. Saya melangkah dengan optimis ketika nama pemenang utama dengan hadiah tiket PP London dipanggil. Ya, saya, menang tiket PP London-Jakarta! Woo hoo! Setelah berfoto dan diwawancarai oleh majalah Colours (majalahnya Garuda Indonesia), saya langsung berlari sambil melompat-lompat ke Booth Kompas untuk memberitahu Mbak Any, Mbak Nyoe, Mas Thoriq, Mbak Ais, Evanto, dan teman-teman Kompas lain betapa senangnya saya saat itu. Tak lupa saya men-drop pesan singkat ke mama saya terkait hal ini. Semua orang yang tahu turut senang dan menyarankan agar saya segera membuat VISA supaya bisa menginjakkan kaki di Heathrow Airport. Hari itu saya makan malam sambil menonton Mocca. Saya masih terpana. Saya, yang belum pernah naik pesawat ini akhirnya pertama kali akan naik pesawat. Dan London! Destinasi impian banyak orang dari berbagai penjuru dunia.

Keesokan harinya, saya bergegas mengurus NPWP sebagai salah satu syarat pengambilan hadiah. Saya mengantri dari pagi sekali dan baru mendapat giliran di sore hari. Meski saya belum bekerja dan berpenghasilan, untuk mendapatkan kartu NPWP saya harus dianggap bekerja dan membayar pajak setiap bulannya. Ya sudahlah, saya pikir demi hadiah. Saya pun membayar nominal yang ditentukan ke bank di sebelah kantor pajak. Disitu, saya bertemu dengan seorang pemuda yang ramah. Koko tersebut menanyakan saya kerja dimana, dan saya menjelaskan kalau saya membuat NPWP ini hanya untuk mengambil hadiah. Percakapan pun berjalan hingga dia mengatakan bahwa sepengetahuannya, syarat untuk lolos VISA negara Inggris paling tidak uang di tabungan harus ada minimal 50 juta rupiah. Waduh. Saya mana punya uang sebesar itu. Orang tua saya juga tidak mempunyai tabungan sejumlah itu. Saya berasal dari keluarga sederhana. Jangankan 50 juta, untuk kuliah saja saya berjuang mendapatkan beasiswa dan sempat bekerja sambilan. Begitu pula untuk mendapatkan barang-barang yang saya mau seperti jam tangan, make up yang seringkali saya dapatkan dengan mengikuti kuis. Akan tetapi, menurut koko itu Garuda Indonesia merupakan maskapai yang baik dan selow. Dia menyarankan saya untuk mencoba bernegosiasi dengan pihak Garuda, apakah memungkinkan untuk diberikan solusi lain.

Dengan gontai, saya kembali melangkah ke kantor pajak. Rasanya lagu Oasis dengan part “Damn my situation, and the games I have to play” mampu menggambarkan situasi saya saat itu. After that, I went home like a fool. Eh ada tetesan air apa ini, padahal sedang tidak hujan. 

Keesokan harinya, saya menulis surat terbuka kepada pihak sponsorship Garuda Indonesia. Dalam surat tersebut intinya saya menjelaskan kondisi saya dan bertanya apakah ada solusi yang mungkin? Apakah memang lomba ini hanya untuk orang tertentu saja meski dikatakan di awal semua orang yang tervalidasi bisa ikut? Sebagai sebuah perusahaan besar, dalam waktu 1X24 jam surat elektronik saya dibalas oleh pihak Garuda Indonesia. Pihak Garuda menawarkan masa perpanjangan tiket hingga September 2017, sebagai satu-satunya solusi yang mungkin dari mereka.

Tiket PP CGK-LHR yang sudah di-issued setelah membayar service fee.

Saya membagikan cerita saya dengan orang-orang terdekat. Saya menjelaskan bahwa saya memiliki uang untuk perjalanan dan akomodasi selama beberapa hari di London, tetapi terkendala soal VISA. Berbeda orang, berbeda pendapat. Sebagian pihak men-support saya dengan menyatakan kalau saya harus berjuang semaksimal mungkin, manusia harus punya mimpi yang besar, ini merupakan kesempatan emas, hidup harus berani ambil risiko, bla bla dan sebagainya.

Ada pro, ada kontra. Tak sedikit juga pihak yang kontra dengan menyatakan bahwa saya harus sadar diri dengan kondisi saya, mungkin belum saatnya, kesempatan emas belum tentu datang sekali saja, dan hidup saya masih panjang. Melalui banyak pertimbangan, saya pun mengikuti kata hati saya dengan mencoba sampai akhir. Justru, jika saya tak mencoba saya bisa mati penasaran. Yang penting saya tidak merugikan orang lain dan tidak harus berhutang demi perjalanan ini. Saya pertaruhkan hampir seluruh uang gaji magang untuk UK VISA yang statusnya masih gambling.

Pencarian tentang London pun dimulai. Berdasarkan info yang saya temukan di internet, mendapatkan VISA Inggris memang tidak mudah. Tetapi, keberuntungan bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Ada beberapa orang yang lolos dengan saldo di bawah 50 juta. Akan tetapi, ada juga yang saldonya sekitar 50 juta dan masih tidak lolos. Yang penting, kita harus menyiapkan dokumen penguat lainnya seperti bookingan hotel, asuransi perjalanan, tiket PP yang sudah di-issued, segala dokumen yang sudah di-translate ke dalam Bahasa Inggris oleh penerjemah tersumpah yang diakui kedutaan Inggris, dan surat sponsor. Berbeda dengan VISA negara lain yang untuk membuatnya kita harus datang ke kedutaan, Kedutaan Inggris di Indonesia tidak lagi melayani pengurusan VISA. Untuk membuat VISA Inggris, kita bisa menggunakan jasa VFS Global sebagai pihak ketiga yang akan menyampaikan dokumen kita ke Kedutaan Inggris yang berada di Manila, Filipina untuk diproses lebih lanjut.

Sempat ingin menggunakan bantuan calo dari agen tur, tetapi setelah bertanya ke berbagai jasa tur saya mendapatkan info kalau calo hanya mengurusi dokumen yang siap dibawa ke agen saja. Segala dokumen penguat seperti asuransi, dll tetap harus kita urus sendiri. Dari informasi tersebut, dengan mantap saya memutuskan untuk mengurus semuanya sendiri.

Segala dokumen yang saya siapkan untuk VISA


Saya pun segera membuat asuransi perjalanan AXA Mandiri yang coverage-nya paling tinggi (karena memang kewajibannya seperti itu untuk UK), mencari penerjemah tersumpah yang tercatat secara resmi oleh pihak kedutaan Inggris, meng-issued tiket PP (rencananya saya akan pergi pada 17 – 23 September 2017), membuat surat pernyataan dari Universitas, meminta seorang paman saya yang memiliki uang di rekeningnya (tak begitu banyak, tapi paling tidak lebih banyak dari orang lain terkait yang saya kenal) untuk menjadi sponsor (hanya sponsor di surat saja, karena sebenarnya saya tetap akan pergi dengan uang saya plus mama saya), dan mencari bookingan penginapan yang paling murah yang bisa saya temukan. Penginapan di UK yang termurah paling tidak membuat kita harus merogoh kocek 500-600 ribu per malamnya. Akan tetapi, saya berhasil mem-booking tempat di Wisma Siswa Merdeka, penginapan khusus siswa milik Kedubes RI yang per malamnya hanya dikenai sekitar 230 ribu rupiah.


Saya juga menyusun itinerary dan berencana untuk pergi ke tempat-tempat yang gratis saja, seperti taman, museum, jalanan dan toko yang iconic. Mengenai tempat-tempat yang saya kunjungi, transportasi, cuaca, makanan murah, kartu telepon, dan estimasi biaya saya banyak berkonsultasi dengan Iradin, salah satu teman online yang saya kenal sejak awal saya masuk kuliah. Dia tinggal di UK dan banyak membantu saya mendapatkan informasi tentang UK dan visa. Saya juga berharap bisa bertemu dengannya, sebagaimana saya dikunjungi oleh Daisuke, teman online saya dari Jepang pada 2014 silam. It's so interesting to meet your online overseas friend. Biasanya, saya mengenalkan Indonesia kepada teman-teman luar negeri saya melalui food and beverage seperti snack dan minuman lokal.

Selain mama, support secara moral diberikan oleh orang-orang terdekat saya. Seorang teman bahkan hendak meminjamkan segala keperluan pakaian di negara empat musim, terlebih karena saya pergi di musim gugur yang suhunya mencapai 9-13 derajat celcius. Estimasi akomodasi saya selama di London dengan menghemat akan menghabiskan sekitar 5-7 juta rupiah (di luar visa dan segala dokumen penguat yang menghabiskan kurang lebih 3 juta rupiah). Demi perjalanan ini, saya berdoa novena. Saya mengutarakan harapan saya, sekaligus menyerahkannya ke Yang Maha Kuasa karena saya yakin Ia tahu yang terbaik untuk saya. Ketika memutuskan untuk membuat visa, saya gambling dan sudah berbesar hati dengan segala risiko yang mungkin akan saya terima.

Setelah bolak-balik seperti setrikaan mengurus segala dokumen, saya pergi mengurus visa di VFS Global (next mungkin akan saya ceritakan proses pengurusan visa-nya) di daerah Kuningan. Prosesnya singkat, hanya 17 menit. Saya datang pagi-pagi sekali berdasarkan informasi yang saya baca di internet. Visa diproses 15 hari kerja.

Akan tetapi, setelah 15 hari kerja tidak ada informasi yang datang ke e-mail saya. Saya pun terus menunggu dan menunggu, sembari sibuk persiapan sidang skripsi. Sampai saya selesai sidang dan revisi pun tidak ada e-mail masuk yang menyatakan kalau visa saya telah tiba di Indonesia.

Kuningan merupakan daerah yang lumayan. Jangan sampai saya sudah jauh-jauh kesana, visa saya belum jadi. Karena kabar tak kunjung datang, saya berusaha mencari nomor telepon ataupun e-mail VFS Global tetapi hanya menemukan bagian yang mengurusi Belanda, dan mereka tidak tahu menahu soal bagian yang mengurusi Inggris. Akhirnya, saya putuskan untuk datang langsung. Tentu saja pagi-pagi lagi. Sesampainya di sana, petugas security mengatakan kalau untuk pengambilan, saya baru bisa masuk ke dalam setelah jam 3 sore. Sambil tersenyum kecut, saya akhirnya memanggil abang gojek untuk mengantarkan saya ke Erasmus Huis (pusat kebudayaan Belanda di daerah Kuningan). Untuk membunuh waktu saya melihat beberapa pameran, berfoto di area Erasmus Huis, dan membaca buku di perpustakaannya yang kece abis meski mayoritas bukunya berbahasa Belanda.

Membunuh waktu di Pusat Kebudayaan Belanda

Sekitar jam 2 sore, saya balik lagi ke VFS Global. Untuk masuk ke ruangan, pintunya benar-benar baru dibukakan jam 3 sore setelah dilakukan pemeriksaan barang dan body check oleh security. Setelah mengambil nomor antrian, saya pun duduk dan mengobrol dengan dua orang ibu yang saya temui di sana. Ibu yang pertama mengatakan kalau dia ingin pergi ke UK dan sudah menggunakan jasa visa priority yang harganya 6 juta rupiah, sudah beli tiket PP, tapi visa-nya belum keluar juga yang langsung disambut oleh ibu satunya kalau di VFS Global ini, kita yang bayar, tapi kita juga yang harus mengejar-ngejar karena kadang jika visa kita telah selesai memang tidak diinfokan di e-mail, harus kita yang datang langsung. Sungguh profesional sekali, VFS Global.

Setelah nomor antrian ibu tadi dipanggil, dia bergegas mengambil dokumen. Beliau optimis visa-nya keluar karena dia telah meng-issued tiket PP dan sudah sering bepergian ke luar negeri seperti keliling Asia dan ke negara-negara Eropa lainnya. Betapa kagetnya saya ketika mata ibu tersebut memerah dan berkaca-kaca. visa-nya ditolak! Harapan saya yang tadinya 50:50 langsung pupus. Bayangkan saja, orang yang sudah issued tiket PP, pakai jasa prioritas, sudah sering travelling saja ditolak. Saya langsung merasa seperti remahan biskuit. Ketika nomor antrian saya dipanggil, saya sudah yakin bahwa bukan stiker visa yang tertempel di paspor saya, melainkan surat penolakan. Dan benar. Saya terdiam tak bergeming, berulang kali membaca surat penolakan tersebut sambil mencerna maksudnya. Ternyata, bukan soal keuangan yang saya khawatirkan yang membuat visa saya ditolak. Ada dua alasan penolakan yang menurut saya agak “hmmm...”:

1.       Saya menyatakan bahwa paman sayalah yang akan mensponsori sejumlah uang untuk perjalanan saya, tetapi saya tidak dapat membuktikan hubungan saya dan paman saya karena dokumen yang saya lampirkan hanya berupa surat sponsor, account bank, rekening koran saya dan paman saya.
(Jelas-jelas saya melampirkan KTP dan KK kami yang satu tempat tinggal. Kalau menurut teman bule saya, saya kebetulan saja sial mendapatkan petugas yang mungkin tidak teliti memeriksa keseluruhan dokumen saya).

2.       Status saya sebagai mahasiswa tahun terakhir membuat kedutaan Inggris khawatir saya tidak akan kembali lagi ke Indonesia setelah berakhirnya perjalanan saya. (Padahal saya kan hanya mau jalan-jalan, udah terbukti ada tiket PP issued, asuransi, bookingan penginapan. Lagi-lagi menurut teman saya, bisa jadi karena Indonesia negara berkembang jadi dicurigai dan dipandang sebelah mata. Some have prejudices. Padahal, siapa juga yang mau jadi imigran ilegal di sana. Sorry-sorry aja nih..)

Seperti yang sudah saya katakan di awal, saya sudah siap dan berbesar hati karena kemungkinan ditolak pasti ada. Since the very start, I don’t expect too much. Because, I know that it can hurt you so much. Memenangkan round trip tiket Jakarta-London merupakan hal yang unexpected. Tiba-tiba hal itu saya genggam, dan tiba-tiba juga hal itu lepas dari tangan saya. Life is so unpredictable.

Sebagai manusia rasa kecewa itu pasti ada. Harapan juga tentu saja ada.
Saya tidak menangis karena sore itu saya berjanji untuk bertemu mama saya di stasiun. Saya tidak ingin terlihat sedih karena pasti dia akan ikut sedih. Saya tidak mau beliau menyalahkan kondisi keluarga saya.

Time heals. Semua patah hati pastinya akan terobati oleh waktu. Ob-la-di, ob-la-da, life goes on, bra. Saya tahu saya harus move on. 

Sempat saya terpikir untuk menulis surat kekecewaan akan hadiah yang pada akhirnya tidak bisa saya nikmati, meski saya telah berjuang amat sangat gigih. Saya sangat berterima kasih kepada Garuda Indonesia atas hadiah yang saya terima, serta perpanjangan waktu keberangkatan sebagai satu-satunya solusi yang mungkin dari mereka. Saya juga paham betul bahwa kewenangan memberikan visa ada di negara yang bersangkutan. Akan tetapi, seorang Ibu yang sudah pernah bepergian ke Eropa saja ditolak. Hal ini menyadarkan saya bahwa untuk masuk ke Inggris cukup sulit dan keberuntungan menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan.

Apakah pihak Garuda Indonesia mempertimbangkan hal ini? Jika boleh saya memberikan saran, alangkah lebih baik ke depannya Garuda Indonesia memperbaiki ketentuan lomba (diberikan syarat yang lebih spesifik misalnya hanya orang dengan penghasilan atau profesi tertentu saja yang boleh ikut, tidak seperti perkataan MC dan syarat tertulis di kertas bahwa siapapun yang tervalidasi bisa ikut, salah satunya saya yang memenuhi syarat). Atau.. misalnya memberikan hadiah ke tempat yang akses masuknya mudah saja, menjamin si pemenang paling tidak untuk bisa masuk ke negara tersebut supaya ke depannya hal seperti ini tidak terjadi lagi, dan tidak ada pemenang hadiah yang diterbangkan sesaat seperti saya.

Jujur saja, bukan kehilangan uang 3 juta rupiah yang menyakitkan. Lebih dari itu, bagaimana effort saya mendapatkan hadiah, bagaimana perjuangan saya menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk pergi sana-sini mengurus soal London di tengah sibuknya magang dan skripsi. Jika ada hal positif yang dapat diambil, tentunya hal itu ialah pengalaman dan pembelajaran. Inilah pencapaian terbesar saya sejauh ini. At least now I know how to make an UK Visa.

Waktu pun berlalu. Begitu pula saya yang coba move on dari kepahitan ini *emot hati retak*. 17 September 2017. Ada e-mail pemberitahuan otomatis dari Garuda Indonesia yang menyatakan bahwa saya tidak melakukan check-in. Ya, bagaimana mau check in orang visa saja tidak keluar. Seorang teman bercanda dengan berkata saya tetap bisa kok ke London, tetapi stay di bandara saja selama 7 hari tanpa lolos imigrasi. That’s a fat lot of use. Sebuah saran yang sangat unfaedah.

Malam itu, hari di mana saya seharusnya berangkat saya habiskan dengan mendengarkan musik sambil membaca di kamar. Tiba-tiba playlist lagu di ponsel saya secara shuffle memutarkan satu lagu dari Oasis, band asal Manchester, Inggris berjudul Stand By Me. Secara otomatis, air mata saya mengalir. Air mata yang tak saya keluarkan akhirnya menetes juga. Saya merasa Tuhan berbicara dalam lagu itu. Seolah lirik dalam lagu tersebut diucapkan Tuhan untuk saya. Yaa, God only knows the way it’s gonna be. Selama saya bersedia untuk tetap ada di sisi Tuhan, mengikutinya. Terkadang tak semua doa kita mendapat jawaban “ya” dari Tuhan. Mungkin dari pengalaman ini, ada rencana lain yang disiapkan Tuhan bagi saya. Kita tidak akan tahu apa yang ada di balik pintu masa depan kita. Ini hanya salah satu pengalaman yang memperkuat sisi spiritual saya, Tuhan ingin membentuk saya menjadi orang yang lebih baik lagi dari sekarang. 

Demotivasi? Tentu saja tidak. I personally believe that my dreams don’t turn to dust. Mungkin ini saatnya menyimpan sejenak mimpi saya dalam laci untuk ditulis ulang, yang mungkin akan menjadi lebih indah lagi. Pengalaman ini justru memperkuat keinginan saya. Semakin besar harapan saya, alamlah yang akan menarik saya ke sana.
Mungkin saat ini saya gagal menginjakkan kaki di Abbey Road, keliling dengan London tube, melihat mumi, berfoto di dekat Big Ben, dan bermain dengan dedaunan musim gugur di Hyde Park dan Kensington Gardens. Tapi dengan kehendak Tuhan, sewindu, sedasawarsa, atau entah kapan saya percaya saya akan menginjakkan kaki di tanah kelahiran Shakespeare. 

Dari tulisan panjang ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman. Saya rasa pengalaman ini layak untuk dibagikan. It's just a life experience. I'm sure that I live and learn through dissapointments. Semoga pengalaman ini tidak membuat teman-teman takut untuk bermimpi.

All things must pass. I should be grateful for what I have. Saya bersyukur masih mempunyai banyak orang yang menyayangi dan mendukung saya. Kata-kata mereka bagaikan mantra sihir yang menguatkan saya hingga sejauh ini. Thank you people for every nice words. :)

“Jai Guru Deva Om”. Still I thank God for everything in my life, the good and the bad. It’s about accepting the world and the universe as it is, bagaimana saya merasa bersyukur dalam setiap peristiwa. Karena bukan Kehendakku lah yang terjadi, melainkan Kehendak-Mu.

Someday. Definitely Maybe, London.


2 komentar:

Post a comment on.